KabarJW
- M. Nur (82), Warga Gampong Kapa, kecamatan Peusangan, salah satu pejuang dimasa penjahan Jepang melawan Republik Indonesia (RI), kini hidupnya sering sakit-sakitan, mengidap hipertensi, atau tekanan darah tinggi.
Saat
disambangi KabarJW ke kediamannya, Minggu (25/6/23), M. Nur menceritakan bahwa
ia sering meringis kesakitan, namun hanya bisa berpasrah pada keadaan.
“saya sering terbangun jam 3 pagi, perut dan sekujur tubuh saya sakit. bahkan saya menahannya sampai tidak bisa tidur lagi," kisahnya dengan suara parau, dan terihat berusaha tegar dibalik guratan wajahnya yang penuh keriput.
Dengan kondisi badan yang telah membungkuk dan gemetar, M. Nur menggunakan tongkat kayu yang didapatkan dari
hutan, untuk menopangnya berjalan.
Ditengah
wawancara yang hangat itu, sembari menikmati suasana sore di halaman rumahnya,
M. Nur menceritakan bahwa ia juga merupakan pejuang yang dulu ikut melawan penjajahan Jepang kala itu.
“Saya
lupa saat itu tahun berapa. Tapi, saya ingat dulu ikut perang melawan Jepang di
Krueng Panjo. Saya bertugas menjaga diujung jembatan, mengawasi pergerakan
penjajah jika melintasi jalan tersebut,” tandas M. Nur.
Ia
juga merasa sedih, setelah bertahun-tahun mengabdikan diri mengusir penjajah,
tapi tidak sedikit pun diperhatikan oleh pemerintah.
“Kami berharap, semoga pemerintah dapat memperhatikan masyarakatnya yang dulu ikut berjuang melawan penjajah,” ujarnya kemudian.
Selain itu, dirinya berharap bisa memiliki tongkat yang layak, untuk memudahkan dirinya beraktifitas.
“Saya
ingin memiliki tongkat, tapi saya tidak punya uang. Namun, jika ada yang dapat
membantu saya untuk membelikan tongkat, saya akan sangat senang," pintanya.
Eka
Susanti (25), anak kandung M. Nur juga mengaku, selama ini ayahnya tidak
menjalani pengobatan secara intensif, melainkan hanya membeli obat dari tempat
praktek dokter di desa tetangga, karena kondisi M Nur yang sudah senja sehingga
sulit dibawa ke tempat pengobatan.
“Ayah
saya tidak ke dokter, apalagi ke rumah sakit. Saya hanya membeli obat ke
praktek dokter di desa Gampong Raya, mengingat ayah tidak bisa naik mobil,
apalagi sepeda motor. Untuk sekali pembelian obat, saya membayar dengan harga Rp25.000,”
sebutnya.
Eka
sendiri merupakan anak kedua dari M. Nur, tamatan Sekolah Menegah Atas (SMA).
Diusianya yang masih muda, ia hanya fokus merawat sang ayah tercinta.
Impiannya menjadi sarjana pun, harus dikuburnya dalam-dalam. Pupus sudah segala cita dan asanya.
Sejak
7 tahun terakhir, setelah Ibunya meninggal pada 2016 silam, Eka dengan ikhlas
hati menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja sebagai buruh tani. Hal
itu dilakukan demi membiayai ayahnya sehari-hari.
“Sesekali,
saya diupah orang untuk memotong rumput. Sehari, saya hanya dapat penghasilan Rp
30.000 hingga Rp 60.000. Itupun sesekali saja, tidak tiap hari,” ceritanya
kepada tim Daweut Apui.
Sementara
itu, Keuchik Gampong Kapa, Efendi, S.Pd., M.Pd saat diwawancarai pada waktu dan
tempat yang sama mengatakan bahwa, M. Nur merupakan salah satu warga penerima
Bantuan Langsung Tunai (BLT)
“Keluarga
M. Nur adalah prioritas utama untuk bantuan BLT. Karena, kali ini penerima BLT
adalah orang-orang yang memang sakitnya adalah sakit menahun,” pungkas keuchik
yang akrab disapa Pak Pen itu.
Selain
itu, Keuchik Efendi juga berharap kepada pemerintah, untuk membantu keluarga M.
Nur, minimal membantu pengobatan.
"Kalau
dari pemerintahan desa, hanya dapat membantu sebisa mungkin. Jadi, ada atau
tidak, kita berharap kepada negara,” tandas Pak Pen.
Sebelum
berpamitan, tim Daweut Apui menyampaikan amanah dari seorang warga kabupaten
Bireuen, yang menitipkan sumbangan berupa uang tunai. [Rahman Efendi]
0 Komentar