Ulfa bersama Darwati ibunya saat diwawancarai dirumah tetanganya |
KabarJW-
Di balik dinding rumah tidak layak huni di Gampong Mata Ie, Kecamatan Peusangan
Selatan, berdiri sosok luar biasa, Darwati Adam (48).
Sebagai
tulang punggung keluarga, Darwati berjuang keras untuk menghidupi putrinya,
Ulfa (14), yang merupakan penyandang disabilitas fisik sejak usia lima bulan.
Setelah viralnya video yang menunjukkan kondisi kehidupan mereka, perhatian pun mengalir. Rombongan Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) Bireuen datang menjenguk pada 27 September 2024, memberikan harapan baru bagi keluarga ini.
"H. Subarni Pengusaha Bireuen juga berencana, akan membantu membangun rumah setengah permanen untuk Darwati," ujar salah seorang anggota rombangan.
Kementerian
PUPR juga berkomitmen untuk membangun WC melalui program sanitasi desa.
Namun,
tantangan tidak berhenti di situ. Biaya pembongkaran rumah lama mencapai Rp
2.000.000, dan Darwati terpaksa berutang untuk membayar para tukang.
Kondisi rumah Darwati, sedang dibongkar oleh para tukang |
Guna
memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia menjual sapu lidi dengan harga Rp 2.200 per
kilogram, sementara beberapa tahun lalu harganya sempat mencapai Rp 2.500
hingga Rp 3.000.
"Pendapatan
ini hanya cukup untuk membeli makanan dan empat popok sehari," ungkap
Darwati dengan nada sedih.
Setiap
pagi, jika uang tidak cukup, Ulfa harus meminta nasi dari tetangga. "Jika
ada sedekah dari hamba Allah, biasanya saya membeli popok dalam porsi besar
seharga Rp 60.000 agar bisa mencukupi kebutuhan selama beberapa hari,"
tambahnya.
Ulfa
memerlukan pengobatan rutin dua kali seminggu. Dengan tekun, Darwati menunggu
di persimpangan jalan setiap pagi, menggendong putrinya untuk menumpang mobil
L-300 terbuka yang membawa daun pisang ke kota.
"Setiap
perjalanan, biaya transportasi tidak menentu, kadang Rp 5.000, kadang Rp
10.000," ujarnya, menunjukkan betapa sulitnya kondisi yang harus mereka
hadapi. Sesampainya di jembatan Rumbia, mereka harus berjalan kaki sejauh 500
meter karena tidak ada biaya untuk naik ojek.
Di
sisi lain, anak sulungnya, Akmal (16), yang bersekolah di SMA Negeri 1
Peusangan Selatan, juga menghadapi kesulitan. Ia hanya diberikan uang jajan
sebesar Rp 5.000 per hari.
"Saya
berikan uang jajan itu meski masih jauh dari cukup," ungkap Darwati dengan
mata berkaca-kaca. Dia juga harus menghadapi tunggakan SPP Akmal yang telah
menumpuk dari bulan Juli hingga September sebesar Rp 75.000.
Meskipun
hidup dalam keterbatasan, keluarga ini tidak luput dari perhatian. Dokter
Purnama Setia Budi dan dr. Syamsyidar sering memberikan bantuan berupa pakaian
dan daging saat meugang dan lebaran.
"Anak-anak
itu tidak boleh merasa sedih karena kekurangan," ujar Darwati menirukan
nasihat mereka.
Keluarga
ini tercatat sebagai penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT), meskipun mereka pernah menerima bantuan dari Baitul Mal pada
2014. Harapan Darwati adalah agar kebutuhannya dapat diprioritaskan demi masa
depan kedua anaknya, terutama karena dia tidak bisa bekerja di luar rumah
seperti ibu-ibu lainnya.
Kisah
Darwati adalah pengingat akan ketahanan dan harapan di tengah kesulitan.
Ismuhadi SH, Keuchik Gampong Mata Ie, menjelaskan bahwa pada tahun 2023, mantan Pj Bupati Bireuen, Aulia Sofyan, telah memerintahkan tim verifikasi melihat kondisi rumah Darwati, Namun hingga September 2024 rumah Darwati belum juga dibangun.
Disampaikan, Gampong Mata Ie menerima 17 unit bantuan rehab rumah stimulan dari
Kementerian PUPR, tetapi salah satunya, termasuk untuk Darwati, tidak bisa
diterima karena kondisi rumah yang harus dibongkar.
Keuchik
juga menyatakan komitmennya untuk membahas kendala yang dihadapi keluarga ini
dalam musyawarah, termasuk kebutuhan popok dan biaya SPP Akmal.
KORKAB
Aceh juga telah meminta rincian biaya bongkar rumah dan siap memberikan
fasilitas jika tidak ada bantuan lain.
Dalam
situasi ini, Keuchik menegaskan, "Kami siap membantu secara pribadi jika
ada kekurangan beras." Ia mengucapkan terima kasih kepada netizen yang
memberikan dukungan, berharap semua pihak dapat mencari solusi tanpa saling
menyalahkan.
Maya
Sofani, Tenaga Kerja Sosial Kecamatan Peusangan Selatan, menambahkan bahwa
keluarga ini adalah penerima PKH-BPNT. Mengenai Kartu Indonesia Pintar (KIP),
ia menyatakan bahwa itu adalah ranah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bireuen.
"Jika
ada kebutuhan untuk kuliah, meski tidak punya kartu, bisa dibuat surat dari
Dinas Sosial untuk usulan beasiswa," ujarnya.
Kisah
Darwati Adam adalah inspirasi bagi kita semua, mengingatkan kita tentang
pentingnya solidaritas dan kepedulian terhadap sesama. Mari kita dukung
keluarga ini agar mereka bisa hidup lebih layak dan mendapatkan masa depan yang
lebih baik.
[Afrizal/
Jurnalis Warga]
0 Komentar