KabarJW – Di sudut sepi Dusun Timu, Gampong Lipah Rayek, Kecamatan Jeumpa, terdapat sebuah rumah sederhana nyaris roboh. dinding kayunya sudah lapuk dimakan usia, berlubang di sana-sini, sementara lantai dapurnya masih berupa tanah becek ketika hujan tiba. rumah itu dihuni oleh keluarga Muhammad Ridwan, salah satu keluarga miskin ekstrem yang telah hidup tanpa listrik selama 15 tahun lebih.
Ridwan memiliki tiga orang anak, dan sehari-harinya bekerja sebagai tukang tambal ban di bengkel milik warga di Gampong Paya Cut, Kecamatan Juli. penghasilannya tak menentu, berkisar Rp 50 ribu per hari. hanya cukup untuk membeli ikan asin, sedikit beras, mie instan. jika penghasilan menurun, mereka harus berutang beras atau makan nasi dengan lauk air garam.
“Kami pernah dapat bantuan beras 10 kilogram dan uang 600 ribu, tapi itu hanya sekali. bantuan lainnya, seperti PKH, belum pernah kami terima,” ujar Sri Wahyuni istrinya kepada media KabarJW, Jumat (11/04/2024)
Ia juga mengaku sempat tercatat sebagai penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), tapi dana tunai Rp 600 ribu justru diambil oleh mantan keuchik, dengan alasan namanya sudah masuk daftar penerima Bantuan Langsung Tunai - Dana Desa (BLT-DD). meskipun hanya satu kali menerima sebanyak Rp 900 ribu.
Pada tahun 2019, nama suaminya beberapa kali dipanggil ke Meunasah untuk mengambilnya. karena tidak memiliki surat vaksin, bantuan tersebut batal diberikan. tahun-tahun berikutnya, ia tidak lagi menerima dengan alasan difokuskan kepada janda miskin.
Putri bungsunya, Huwaida Fitri, kini duduk di kelas VI Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 49 Cot Tring, Kecamatan Kuala. Ia tidak terdaftar sebagai penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP). padahal hampir setiap hari ia berangkat sekolah tanpa uang jajan, hanya membawa nasi sebagai bekal.
“Saya ingin lanjut sekolah, tapi mungkin lebih baik ikut pengajian saja. kami harus realistis, melihat penghasilan orang tua,” ujar Huwaida
Ibu si sulung Muhammad Irsyadi tersebut, sebenarnya memiliki keahlian menjahit bordir. namun karena rumah sempit, tidak ada lampu, sehinga mesinnya terpaksa dititipkan di rumah kerabatnya. kini, ia hanya menambal pakaian bekas sebagai sumber tambahan penghasilan.
Pada tahun 2016, atap rumah mereka pernah rusak diterpa angin, lalu diganti dengan seng bantuan. sekalian disemen bagian dalam rumah.
Fasilitas MCK pun terbatas. mereka hanya memiliki lubang kecil dibangun dari cincin sumur, dindingnya pun dari plastik hitam, terletak di bawah pohon kelapa—rawan jatuh pelepahnya jika angin kencang datang.
Warga sekitar pernah memberikan sumur WC resapan, nyatanya hingga kini belum bisa digunakan karena tidak mampu membeli kloset.
Lima tahun lalu, sempat juga didatangi kantor Baitul Mal Bireuen membawa fotokopi KTP, KK. akan tetapi tidak menyertakan proposal, permohonan mereka ditolak dengan alasan kuota sudah penuh.
Zainura, kakaknya, bahkan pernah menyampaikan langsung kondisi rumah tersebut kepada Safrizal, Sekretaris Baitul Mal Bireuen. sambil memperlihatkan foto-foto kerusakan rumah, bahkan sempat dijelaskan sudah dua kali ingin dibantu rehab oleh gampong tapi tidak bisa, karena jika dibongkar, semua matrialnya tidak bisa dipakai lagi.
Kalau musim hujan selalu kebanjiran, ular air sering masuk ke dalam. salah satu anaknya pernah dipatok ular meski tidak berakibat fatal.
“Jawaban dari beliau, kalau permohonan diajukan tahun ini, baru bisa dibantu tahun depan. tapi belum tentu juga ada anggarannya,” kata Zainura dengan nada kecewa, dirinya merupakan anggota Komunitas Peduli Bireuen.
Keinginannya membantu bukan karena hubungan keluarga semata, tetapi karena kepedulian terhadap sesama. meski bekerja sebagai PNS, namun tetap aktif dalam kegiatan sosial berbagi baju bekas bersama teman-teman komunitasnya.
Harapan
mereka sederhana ingin memiliki rumah layak huni, listrik untuk penerangan,
anak-anak berpendidikan. meski dalam sunyi gelap, keluarga ini masih bertahan
dengan harapan, bahwa suatu hari nanti, akan ada tangan-tangan kepedulian
mengetuk pintu rumah mereka.
[Afrizal/ Jurnalis Warga]
0 Komentar